1 Page Project
entry 2 : Langit
Menatap langit saat hujan turun adalah salah satu hal yang
wajib di lakukan olehnya, tak peduli kondisi apapun Ia selalu menyempatkan diri
untuk berdiri di tengah hujan. ‘Hanya iseng’ jawabnya kala teman-temannya
bertanya dengan bingung terhadap hobi anehnya itu.
Namun sebenarnya itu hanya alasan kecilnya. Hanya iseng? Haish... jangan bercanda. Dia tak
mungkin membiarkan seluruh tubuhnya basah dan membuat kesehatannya menurun
hanya karena Ia iseng.
Tidak mungkin. Sama sekali tidak mungkin.
Jangan mengira aku hanya asal menebak. Tentu saja tidak! Aku sebagai teman terbaiknya tahu semua penyebab kebiasaan absurdnya itu sejak beberapa bulan yang lalu. Tepat saat pertama kali kita bertemu di bawah pohon itu.
Jangan mengira aku hanya asal menebak. Tentu saja tidak! Aku sebagai teman terbaiknya tahu semua penyebab kebiasaan absurdnya itu sejak beberapa bulan yang lalu. Tepat saat pertama kali kita bertemu di bawah pohon itu.
. . . . .
Aku tak bisa menahan
mulutku untuk tidak terbuka. Bagaimana tidak, di tengah orang-orang yang tengah
menyelamatkan diri dari air hujan yang semakin lama semakin deras menghantam
bumi, Ia malah menerobos berlawanan arah dan menyambut air hujan dengan suka
cita.
Ia berdiri tepat di
hadapanku dengan kepalanya yang mengadah ke atas dan kedua tangan yang terbuka
lebar seolah menyambut kehadiran sang hujan. Awalnya aku kira Ia akan segera
berpindah tempat saat hujan semakin deras, namun Ia malah semakin menyamankan
diri walaupun seluruh bajunya sudah basah dan menampilkan lekuk tubuhnya. Aku
memeriksa ke kanan dan ke kiri untuk memastikan apa orang di hadapanku ini
sedang dalam pengambilan gambar atau tidak, namun aku tidak menemukan apapun.
Aku tak bisa menahan
rasa penasaranku padanya, sampai akhirnya aku tak sengaja menanyakan untuk apa
dia berdiri di sana. Ia menatapku lalu tersenyum manis—sangat manis malah, dan
menjawab, “Aku sedang membersihkan hatiku.”
Aku menyerit bingung,
“Apa maksudmu?”.
Ia membetulkan letak poninya yang menutupi matanya dan menatapku, “Aku lelah menyimpan rasa tak sukaku, aku lelah menyimpan semua kebencianku, aku lelah menyimpan semua itu tanpa bisa aku ungkapkan. Jadi aku pikir lebih baik membersihkannya dengan hujan.”
Ia membetulkan letak poninya yang menutupi matanya dan menatapku, “Aku lelah menyimpan rasa tak sukaku, aku lelah menyimpan semua kebencianku, aku lelah menyimpan semua itu tanpa bisa aku ungkapkan. Jadi aku pikir lebih baik membersihkannya dengan hujan.”
Aku menganga tak
percaya, tak habis pikir akan apa yang di ungkapkan oleh orang itu, tapi tanpa
pikir panjang beberapa detik setelah Ia menjawab pertanyaan itu aku berucap...
“Jadikanlah aku temanmu.”
. . . . .
Aku tak habis pikir mengapa aku bisa menawarkan diri menjadi
temannya. Padahal aku sama sekali tak tahu dia siapa. Namun, di saat manik
hitamnya itu menatapku aku merasakan sebuah perasaan kosong yang menyayat hati.
Di saat senyum menghias wajahnya, walau Ia terlihat bahagia, walau senyuman itu
sangat manis, mataku tak bisa menerima kemanisan dari senyuman itu, dan malah
merasa kalau Ia sedang menyembunyikan sesuatu. Dan perasaan itu membuatku
merasa kalau aku harus menolongnya—entah menolong dari apa. Tapi aku merasa
kalau aku harus mengembalikan senyuman dan tatapan matanya kembali menjadi
sempurna dan setara dengan wajah indahnya.
Ya, Aku harus mengembalikannya.
Ya, Aku harus mengembalikannya.
Aku tersenyum kecil lalu perlahan menembus hujan dan
mendekatinya. Ia menatapku tak mengerti lalu tersenyum lebar kala aku berkata
dengan senyuman terukir di wajahku.
0 comments:
Post a Comment