March 30, 2013

1pg - Langit



1 Page Project

entry 2 : Langit



Menatap langit saat hujan turun adalah salah satu hal yang wajib di lakukan olehnya, tak peduli kondisi apapun Ia selalu menyempatkan diri untuk berdiri di tengah hujan. ‘Hanya iseng’ jawabnya kala teman-temannya bertanya dengan bingung terhadap hobi anehnya itu.
Namun sebenarnya itu hanya alasan kecilnya. Hanya iseng? Haish... jangan bercanda. Dia tak mungkin membiarkan seluruh tubuhnya basah dan membuat kesehatannya menurun hanya karena Ia iseng.
Tidak mungkin. Sama sekali tidak mungkin.
Jangan mengira aku hanya asal menebak. Tentu saja tidak! Aku sebagai teman terbaiknya tahu semua penyebab kebiasaan absurdnya itu sejak beberapa bulan yang lalu. Tepat saat pertama kali kita bertemu di bawah pohon itu.
. . . . .
Aku tak bisa menahan mulutku untuk tidak terbuka. Bagaimana tidak, di tengah orang-orang yang tengah menyelamatkan diri dari air hujan yang semakin lama semakin deras menghantam bumi, Ia malah menerobos berlawanan arah dan menyambut air hujan dengan suka cita.
Ia berdiri tepat di hadapanku dengan kepalanya yang mengadah ke atas dan kedua tangan yang terbuka lebar seolah menyambut kehadiran sang hujan. Awalnya aku kira Ia akan segera berpindah tempat saat hujan semakin deras, namun Ia malah semakin menyamankan diri walaupun seluruh bajunya sudah basah dan menampilkan lekuk tubuhnya. Aku memeriksa ke kanan dan ke kiri untuk memastikan apa orang di hadapanku ini sedang dalam pengambilan gambar atau tidak, namun aku tidak menemukan apapun.
Aku tak bisa menahan rasa penasaranku padanya, sampai akhirnya aku tak sengaja menanyakan untuk apa dia berdiri di sana. Ia menatapku lalu tersenyum manis—sangat manis malah, dan menjawab, “Aku sedang membersihkan hatiku.”
Aku menyerit bingung, “Apa maksudmu?”. 
Ia membetulkan letak poninya yang menutupi matanya dan menatapku, “Aku lelah menyimpan rasa tak sukaku, aku lelah menyimpan semua kebencianku, aku lelah menyimpan semua itu tanpa bisa aku ungkapkan. Jadi aku pikir lebih baik membersihkannya dengan hujan.”
Aku menganga tak percaya, tak habis pikir akan apa yang di ungkapkan oleh orang itu, tapi tanpa pikir panjang beberapa detik setelah Ia menjawab pertanyaan itu aku berucap...
“Jadikanlah aku temanmu.”
. . . . .
Aku tak habis pikir mengapa aku bisa menawarkan diri menjadi temannya. Padahal aku sama sekali tak tahu dia siapa. Namun, di saat manik hitamnya itu menatapku aku merasakan sebuah perasaan kosong yang menyayat hati. Di saat senyum menghias wajahnya, walau Ia terlihat bahagia, walau senyuman itu sangat manis, mataku tak bisa menerima kemanisan dari senyuman itu, dan malah merasa kalau Ia sedang menyembunyikan sesuatu. Dan perasaan itu membuatku merasa kalau aku harus menolongnya—entah menolong dari apa. Tapi aku merasa kalau aku harus mengembalikan senyuman dan tatapan matanya kembali menjadi sempurna dan setara dengan wajah indahnya.
Ya, Aku harus mengembalikannya.
Aku tersenyum kecil lalu perlahan menembus hujan dan mendekatinya. Ia menatapku tak mengerti lalu tersenyum lebar kala aku berkata dengan senyuman terukir di wajahku.
“Aku ingin menemanimu.”

0 comments:

Post a Comment